Senin, 01 April 2013

UKT (Untuk Kita Tolak)



         UKT merupakan skema pembayaran yang sebentar lagi isunya akan diterapkan oleh UGM. Sebenernya saya lebih setuju kalo UKT itu merupakan singkatan dari Untuk Kita Tolak (Adam, 2013). Kenapa harus ditolak? Sebaiknya saya jelaskan dulu makna UKT sendiri itu apa.
                Uang Kuliah Tunggal menggunakan skema yang dibilang cukup praktis dan gampang, yaitu cukup dengan sekali membayar semua urusan sudah selesai, tidak perlu ribet ngurusi sana-sini.  Pengertian lebih jelasnya itu adalah skema pembayaran biaya kuliah yang mengintegrasikan beberapa komponen seperti SPMA, SPP, dan BOP dengan menghitung unit cost mahasiswa setiap semester. Tapi, mengapa banyak mahasiswa yang menolak diterapkannya skema ini? Hal itu terjadi tidak lain karena UKT memukul rata biaya untuk semua mahasiswa. Jadi, baik anak pejabat maupun anak tukang becak harus membayar biaya kuliah yang sama. Mungkin muncul pertanyaan, “Bukankah itu adil?”. Sebenarnya apa sih yang disebut adil? Misalkan saja Anda punya saudara yang masih berumur 3 tahun. Jika Anda menyebut adil adalah dengan membagi sama persis tanpa peduli keadaan dan kondisi, maka jika orang tua Anda adalah orang tua yang adil maka mereka akan memberi jatah uang saku Anda dan saudara Anda besarnya sama persis. Bayangkan bila Anda diberi uang saku perbulan 500 ribu untuk makan, beli bensin, beli pulsa, fotocopy dan saudara Anda juga diberi uang saku sama besar padahal ia mungkin bahkan belum tau bedanya uang 1000 dan 50.000. Apakah itu yang disebut adil? Tentu saja tidak. Menurut saya, adil itu seharusnya membagi sesuai kebutuhan dan kondisi yang ada.


                Jadi, apakah skema UKT itu adil? Anda bisa menjawab sendiri.  Berdasarkan yang saya tau, jadi tidak peduli berapa SKS yang Anda ambil, biaya yang Anda keluarkan akan selalu sama. Maksudnya, mahasiswa angkatan tua yang hanya mengambil 5 SKS harus membayar biaya yang sama dengan mahasiswa baru yang mengambil 21 SKS. Dimana letak keadilannya? Dan lagi, seorang pegawai swasta dengan gaji rata-rata 3 juta perbulan harus membayar biaya kuliah anaknya sama seperti seorang pejabat pajak dengan gaji rata-rata 25 juta perbulan. Dimana letak keadilannya?
                Mengapa skema SPMA yang sudah ada dan cukup ‘adil’  harus diganti dengan skema UKT yang sangat hina dan ‘adil’? SPMA memberi kesempatan bagi mahasiswa yang (maaf) miskin atau penghasilan orang tuanya pas-pasan  untuk kuliah dengan bantuan subsidi dari mahasiswa yang penghasilan orang tuanya berlebih. Artinya yang kaya membantu yang miskin. Namun, dengan skema UKT ini, apa yang terjadi? Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Jika begini, bagaimana Indonesia bisa maju jika mahasiswanya harus menderita untuk membayar uang kuliah?
                Oke, masalah tidak berhenti disitu. Mungkin ini sedikit curhat, tetapi bayangkan jika dalam satu keluarga ada 2 orang anak yang kuliah di UGM. Misalkan saja saya, orang tua saya single parent dan seorang pegawai swasta. Saya punya adik yang berjarak hanya satu tahun dari saya dan akan kuliah tahun ini. Jika menggunakan SPMA, saya dan adik saya secara kasar hanya harus membayar 4 juta per semester (SPMA 2), tetapi jika menggunakan UKT, asumsikan saya dan adik saya semua kuliah di Pertanian, orang tua saya harus membayar 8 juta per semester yang artinya 2 kali lipat dari biaya saat menggunakan SPMA. Mungkin solusinya memang mencari beasiswa. Tetapi terkadang beasiswa pun tidak semudah itu didapat. Biasanya beasiswa disediakan untuk mahasiswa berprestasi atau mahasiswa kurang mampu, bagaimana dengan mahasiswa yang tidak bisa disebut miskin tetapi juga tidak bisa disebut kaya? Bagaimana dengan mahasiswa dengan kemampuan pas-pasan seperti saya? Yah, saya tidak tahu jika nantinya UKT benar-benar digunakan di UGM, saya memilih mengalah dan tidak kuliah supaya adik saya bisa kuliah. Miris? Memang. Mungkin karena inilah orang-orang berkata bahwa hidup ini memang kejam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar