UKT merupakan skema pembayaran
yang sebentar lagi isunya akan diterapkan oleh UGM. Sebenernya saya lebih
setuju kalo UKT itu merupakan singkatan dari Untuk Kita Tolak (Adam, 2013).
Kenapa harus ditolak? Sebaiknya saya jelaskan dulu makna UKT sendiri itu apa.
Uang Kuliah Tunggal menggunakan skema
yang dibilang cukup praktis dan gampang, yaitu cukup dengan sekali membayar
semua urusan sudah selesai, tidak perlu ribet ngurusi sana-sini. Pengertian lebih jelasnya itu adalah skema
pembayaran biaya kuliah yang mengintegrasikan beberapa komponen seperti SPMA,
SPP, dan BOP dengan menghitung unit cost mahasiswa setiap semester. Tapi,
mengapa banyak mahasiswa yang menolak diterapkannya skema ini? Hal itu terjadi
tidak lain karena UKT memukul rata biaya untuk semua mahasiswa. Jadi, baik anak
pejabat maupun anak tukang becak harus membayar biaya kuliah yang sama. Mungkin
muncul pertanyaan, “Bukankah itu adil?”. Sebenarnya apa sih yang disebut adil?
Misalkan saja Anda punya saudara yang masih berumur 3 tahun. Jika Anda menyebut
adil adalah dengan membagi sama persis tanpa peduli keadaan dan kondisi, maka
jika orang tua Anda adalah orang tua yang adil maka mereka akan memberi jatah
uang saku Anda dan saudara Anda besarnya sama persis. Bayangkan bila Anda
diberi uang saku perbulan 500 ribu untuk makan, beli bensin, beli pulsa,
fotocopy dan saudara Anda juga diberi uang saku sama besar padahal ia mungkin
bahkan belum tau bedanya uang 1000 dan 50.000. Apakah itu yang disebut adil?
Tentu saja tidak. Menurut saya, adil itu seharusnya membagi sesuai kebutuhan
dan kondisi yang ada.
Jadi, apakah skema UKT itu adil?
Anda bisa menjawab sendiri. Berdasarkan
yang saya tau, jadi tidak peduli berapa SKS yang Anda ambil, biaya yang Anda
keluarkan akan selalu sama. Maksudnya, mahasiswa angkatan tua yang hanya
mengambil 5 SKS harus membayar biaya yang sama dengan mahasiswa baru yang
mengambil 21 SKS. Dimana letak keadilannya? Dan lagi, seorang pegawai swasta
dengan gaji rata-rata 3 juta perbulan harus membayar biaya kuliah anaknya sama
seperti seorang pejabat pajak dengan gaji rata-rata 25 juta perbulan. Dimana
letak keadilannya?
Mengapa skema SPMA yang sudah ada
dan cukup ‘adil’ harus diganti dengan skema
UKT yang sangat hina dan ‘adil’? SPMA memberi kesempatan bagi mahasiswa yang (maaf)
miskin atau penghasilan orang tuanya pas-pasan
untuk kuliah dengan bantuan subsidi dari mahasiswa yang penghasilan
orang tuanya berlebih. Artinya yang kaya membantu yang miskin. Namun, dengan skema
UKT ini, apa yang terjadi? Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Jika
begini, bagaimana Indonesia bisa maju jika mahasiswanya harus menderita untuk
membayar uang kuliah?
Oke, masalah tidak berhenti
disitu. Mungkin ini sedikit curhat, tetapi bayangkan jika dalam satu keluarga
ada 2 orang anak yang kuliah di UGM. Misalkan saja saya, orang tua saya single
parent dan seorang pegawai swasta. Saya punya adik yang berjarak hanya satu
tahun dari saya dan akan kuliah tahun ini. Jika menggunakan SPMA, saya dan adik
saya secara kasar hanya harus membayar 4 juta per semester (SPMA 2), tetapi
jika menggunakan UKT, asumsikan saya dan adik saya semua kuliah di Pertanian,
orang tua saya harus membayar 8 juta per semester yang artinya 2 kali lipat
dari biaya saat menggunakan SPMA. Mungkin solusinya memang mencari beasiswa.
Tetapi terkadang beasiswa pun tidak semudah itu didapat. Biasanya beasiswa
disediakan untuk mahasiswa berprestasi atau mahasiswa kurang mampu, bagaimana
dengan mahasiswa yang tidak bisa disebut miskin tetapi juga tidak bisa disebut
kaya? Bagaimana dengan mahasiswa dengan kemampuan pas-pasan seperti saya? Yah,
saya tidak tahu jika nantinya UKT benar-benar digunakan di UGM, saya memilih
mengalah dan tidak kuliah supaya adik saya bisa kuliah. Miris? Memang. Mungkin
karena inilah orang-orang berkata bahwa hidup ini memang kejam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar